Dari laporan telik sandi, Sang
Maharaja Alengka begitu murka melihat kelakuan Adipati.
Bukan menyiapkan pasukan terbaik
menghadapi serangan Dewa Air, Adipati dinegara dalam kekuasaan Negeri Alengka
malah sibuk duduk bercengkrama dengan Sang Permaisuri. Sembari menyiramkan
kembangnya.
“Tuanku adipati, Sang maharaja
Alengka telah memerintahkan paduka untuk menyiapkan pasukan terbaik untuk
menghadapi serangan negara Dewa Air. Demikian titah dari Maharaja, tuanku”,
kata sang panglima perang sembari mengunus senjatanya. Menunggu perintah dari
Adipati. Berbaris rapi hendak menuju medan perang.
“Tidak perlu, Panglima. Serangan
dari Negara Dewa Air tidak berarti apa-apa. Nanti mereka akan capek sendiri.
Strategi kita menghadapinya akan dilihat dimedan perang’, Kata sang Adipati
tetap menggosok kilau mahkotanya. Sembari menyiram bonsai yang telah lama
dirapikannya.
“Strategi apa, tuanku. Sampai
sekarang hamba tidak mengerti”, sela sang panglima heran.
“Percayalah. Strategi ini telah
diuji nujum ahli nujum seantero negeri. Kekuatannya mampu menghadang serangan
negara Dewa Air. Demikian kabar dari telik sandiku”, kata sang Adipati tidak
peduli dengan keheranan sang Panglima.
“Tapi, tuanku, Rakyat sudah banyak
yang menjadi korban. Mayat sudah bergelimpangan disana-sini. Lumbung padi telah
habis disapu serangan air. Tidak ada sama sekali kekuatan dari strategi yang
disampaikan oleh tuanku”, kata Sang panglima semakin heran.
“Korban dari rakyat itu adalah revolusi.
Mereka harus percaya dengan kekuatan strategi kita”, lagi-lagi sang Adipati
tidak mau disalahkan.
“Tunggu saja. Nanti serangan
negara Dewa Air akan terhenti’, Titah Adipati sembari melambaikan tangan. Menyuruh
Panglima meninggalkan balairung Kerajaan.
“Hamba, tuanku”, sembari
membungkuk, Sang panglima meninggalkan balairung kerajaan.