“Sampai
sekarang hamba masih bingung. Mengapa Adipati tidak mempersiapkan kuda-kuda
terbaik, pasukan terlatih untuk menghadapi serangan dari dewa Air, sobat”, kata
sang pengelana sembari mencicipi ubi rebus di lopak pasar. Suaranya terdengar
penghuni lopak.
“Iya,
malah adipati menyiapkan kentongan kepada punggawanya. Dengan kentongan maka
apabila ada serangan dari dewa air, maka penduduk akan segera mengungsi”, kata
temannya. Tangannya tidak lupa mencomot pisang. Rokok terus mengebul di lopak.
“Bukankah
sebagai Adipati dia sudah berbuat baik kepada rakyat. Mengabarkan kepada rakyat
apabila ada serangan dari Dewa Api menggunakan kentongan”, kata sang pengelana
lain. Dia baru saja tiba. Keringatnya bercucuran. Hari yang terik membuat dia
mengaso di lopak. Tidak lupa memesan teh pahit kepada sang ibu warung.
“Pesan
teh pahit, bu. Hamba lelah sekali”, Sambil berteriak dan menyulurkan kakinya.
Ngaso sembari menikmati semilir angina berhembus. Sepoi-sepoi. Sejuk. Matanya
sedikit mengantuk. Mulut menguap.
“Tugas
adipati mempersiapkan pasukan terbaik menghadapi serangan Dewa Air. Tugas punggawa
memberitahukan kepada penduduk. Agar mempersiapkan diri dari serngan Dewa Air”,
kata sang pengelana heran.
“Bukankah
adipati telah menerima upeti dari rakyat. Dia hidup dari kas kerajaan”, kata
sang ibu warung sembari mengantarkan teh pahit. “Ini cepat diminum. Biar badan
lega”, katanya.
“Selama
ini saya menempuh perjalanan. Berjalan dari satu negeri ke negeri yang lain.
Mengitari bukit. Sang Adipati ini kurang siap menghadapi serangan negara air.
Sang adipati malah sibuk berhias. Omongannya seperti bergumam. Bekerja dengan
pikirannya sendiri. Kadang hamba tidak mengerti apa yang hendak disampaikan”,
kata sang Pengelana bingung.
“Dia
hidup dengan dunianya sendiri. Dia tidak bertanggungjawab kepada rakyatnya.
Serangan dari negara Air cuma dijawab cengengesan. Memalukan”, kata sang Ibu
warung.
“Iya,
bukde. Semoga kita mendapatkan pemimpin yang amanah. Tidak mau menang sendiri”,
kata sang pengelana.
“hamba
pergi, bukde. Terima kasih atas teh pahitnya.”, kata sang pengelana sembari
keluar dari warung.